Selasa, 05 Mei 2009

TERSENYUM SAJALAH

"Pokoknya, apapun keadaannya, selalu tersenyum...", begitu kata Mas Murjiman, pegawai teladan fakultas kami, salah satu tenaga administratif di bagian yang ribet: peminjaman alat, inventaris, dan pengadaan. "Walaupun dalam hatinya remuk..". Begitu lanjutnya. Di bagian itu kami selalu tertawa bersama. Ya, tersenyum sajalah!

"Nda, kenapa, sih, misuh-misuh begitu, kan malu, mosok ibu muda yang cakep misuh-misuh?" tanya saya membaca Yahoo Messenger statusnya Bunda Ochie (http://ochiepoenya.blogspot.com) yang cemberut karena koneksi 3G-nya yang mota-mati mulu itu hari itu. Tidak ada banyak jawaban dari seberang chat sana. Sebagai gantinya di YM statusnya si bunda, bila hari itu si provider layanan 3G itu tidak becus lagi, tertulis "Kenapa, yaaa, koneksinya putus terus? (tersenyum)". He..he..menikmati kekesalan periodik, gitu. Karenanya, tersenyum sajalah!

Saya kurang beruntung pagi ini. Karena terlambat di pertempuran pagi--ke masjid, membangunkan anak, menyiapkan rumah, bersih-bersih, nyuci mobil, dan sarapan yang terhambat-hambat karena disambi mencari perlengkapan seragam si sulung--mengakibatkan delay pemberangkatan "kloter" 15 menit. Di Yogya, itu berarti akan terjadi persaingan ketat di sirkuit jalan Wates-Yogya (atau di segmen jalan manapun..). Jadi, soal aturan jalan raya, yaaa.. digunakanlah standar sirkuit jalanan itu. Klakson, salip kiri, kecepatan di atas 60 km/jam, langgar traffic light, itu hal biasa. Raikonnen atau Schummy sekalipun jika disuruh balapan di prime time 06.15--07.30 di Yogya, saya yakin mereka kalah di uji kelayakan sirkuit... Nah, jika terjadi ketidakberuntungan di jalan raya itulah, entah kita disalip dari kiri, jalan kita dipotong, diklakson tanpa sebab jelas, atau terburuk bersenggolan, yaaa... terima saja. Salah sendiri tidak bangun lebih pagi dan lebih berhati-hati. Tidak usah merengut. Tidak usah sewot dengan klakson. Juga tidak usah mengucapkan mantera si Sirik melawan mBak Juwita. Santai saja. Tertawakan kehebohan pagi ini.Tersenyum sajalah!

Orang bisa jadi mengatai kita tidak becus. Hidup tidak sukses. Mungkin lebih tega lagi mengatai kita bodoh. Atau lebih jauh lagi, mereka bertindak bodoh dan membodohi kita. Atau sekedar bilang hal jelek tentang kita. Atau bahkan menjauhi karena satu hal yang tidak kita pahami. Maka lagi-lagi senyum adalah jawaban. Meski pahit, tapi tersenyum sajalah!

Rasul Agung kita pernah berkata bahwa senyum itu ibadah, karena senyum adalah bentuk terkecil dari sedekah. Simpel sekali. Gampang. Sedekah itu ternyata hanya tinggal menarik sedikit otot pipi di sekitar bibir kita, menariknya sesenti-dua senti ke kiri dan ke kanan, lalu binarkan sedikit mata, jadilah senyum yang indah! Jadi, untuk ibadah kecil-kecilan: tersenyum sajalah!

Teman saya yang jauh lebih dulu mengetahui resep ini, punya senyum yang lebih menyejukkan. Dia tahu kapan menempatkan senyum indahnya. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang harusnya dijawab dengan kata-kata, atau perintah yang harusnya diiyakan, oleh dia hanya dijawab dengan senyumnya yang menghipnotis itu. Waduh! Kok, serasa sudah ada jawaban? Kok, enak, ya, bertanya dengan dia. Kok.. dan seterusnya. Jelas itu senyum yang strategis, kan? 

Beda kasus. Berhadapan dengan suasana sedih kita. Pekerjaan bertumpuk. Ditipu orang. Ditinggal teman baik. Kehilangan benda kesayangan kita. Atau berhadapan dengan masalah rutin di tempat tinggal kita. Mobil mogok. Ban bocor. Anak rewel. Atau mendengar kabar tidak mengenakkan perasaan. Senyum yang disambil dengan menarik nafas panjang juga mensugesti kita untuk sedikit melihat dengan cara yang berbeda semua hambatan yang beraura negatif itu. Sedikit dipaksa. Sedikit berlawanan dengan kondisi yang kita terima, tapi hasilnya, lumayan melegakan. Cobalah. Tersenyum sajalah...

Dari seluruh sisi hidup kita hanya sedikit senyum itu dilarang diterapkan. Kita hanya perlu menahan senyum saat atasan kita marah. Juga jangan lebarkan senyum saat menerima kabar duka dari orang. Atau kebetulan melihat seseorang mengalami musibah. Salah menerapkan senyum pada situasi seperti itu bisa membuat orang balik tersenyum juga kepada kita. Sinis. Ini jelas berabe.

Oh, ya.. jangan terlalu jauh berpikir. Apakah kita perlu senyum itu dengan hati yang tulus. Apakah senyum itu harus dengan doa. Apakah senyum itu juga harus mengambarkan suasana batin kita. Apakah senyum itu artifisial atau fotogenik. Jangan terlalu jauh. Santai saja. Seperti para model di depan kamera itu. Paling tidak, satu masalah di satu detik itu teratasi dengan satu langkah. Ya, senyum itu!

Jadi, sekali lagi, seperti kata Mas Murjiman, seperti kata nDa Ochie, atau bahkan seperti kata Rasul saw., saya kira sampai di titik ini kita sepakat. Salah satu solusi untuk semua kompleksitas hidup kita mungkin dengan senyum. Jadi tersenyum sajalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar